UU TNI dan HAM

Hubungan antara UU TNI dan implikasinya terhadap perkembangan HAM di Indonesia

Mohammad Nayaka Rama Yoga

7/27/20258 min read

A man with a backpack and goggles standing in front of an abandoned building
A man with a backpack and goggles standing in front of an abandoned building

Pendahuluan

Dalam sistem politik demokratis, supremasi sipil atas militer adalah prinsip fundamental yang menjamin kebebasan, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Sejak Reformasi 1998, Indonesia telah berusaha membatasi peran militer dalam urusan non-pertahanan melalui berbagai kebijakan, termasuk lahirnya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Undang-undang ini secara eksplisit membatasi keterlibatan militer dalam urusan sipil dan mempertegas peran pertahanan TNI dalam sistem demokrasi. Namun, belakangan, muncul wacana revisi UU TNI yang justru dinilai dapat membalik arah reformasi tersebut.

Rencana revisi ini mencantumkan perluasan wewenang militer dalam ranah non-perang (OMSP) hingga mencakup urusan pemerintahan, pembangunan, penanganan konflik sosial, bahkan keterlibatan dalam proyek strategis nasional. Wacana ini menimbulkan kekhawatiran luas di kalangan pegiat HAM dan demokrasi, karena membuka peluang bagi militer untuk kembali aktif dalam kehidupan sipil tanpa kontrol dan akuntabilitas yang memadai.

Kekhawatiran ini menjadi semakin genting ketika dikaitkan dengan situasi di Papua, wilayah yang selama beberapa dekade mengalami konflik berkepanjangan antara negara dan kelompok separatis, serta menjadi ruang eksesif bagi pendekatan keamanan militeristik. Dalam konteks Papua, militer bukan hanya bertugas menjaga kedaulatan, tetapi juga sering terlibat dalam penanganan isu sosial-politik, pembangunan infrastruktur, hingga pengelolaan sumber daya alam. Tidak sedikit laporan yang menyebutkan adanya pelanggaran HAM terhadap warga sipil, pembatasan kebebasan berekspresi, dan pembungkaman kritik terhadap negara di bawah bayang-bayang kekuatan militer.

Oleh karena itu, rencana revisi UU TNI menjadi sangat relevan untuk dikritisi, terutama jika ditinjau dari dampaknya terhadap ruang demokrasi dan HAM di Papua. Apakah perluasan peran militer akan memperkuat stabilitas nasional? Ataukah justru memperdalam luka sejarah, ketidakpercayaan publik, dan pelanggaran hak-hak dasar warga sipil, khususnya masyarakat adat Papua? Esai ini akan mengkaji lebih dalam persoalan tersebut, dengan menempatkan Papua sebagai studi kasus utama dari persoalan struktural antara demokrasi, kekuasaan militer, dan pelindungan HAM di Indonesia kontemporer.

Revisi UU TNI: Menghapus Batas antara Militer dan Sipil?

Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang saat ini sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR menimbulkan perdebatan serius di ruang publik. Salah satu sorotan utama adalah perluasan cakupan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang diusulkan dalam draf revisi. Jika dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 OMSP mencakup 14 jenis tugas non-perang seperti bantuan kepada kepolisian dan penanggulangan bencana, maka dalam draf revisi tersebut jumlahnya bertambah menjadi 26 tugas. Tambahan tugas itu meliputi peran militer dalam menangani konflik sosial, pengamanan proyek strategis nasional (PSN), penanggulangan terorisme, bahkan keterlibatan dalam pembangunan dan pemerintahan daerah.

Perluasan ini secara langsung berpotensi menghapus batas-batas tegas antara otoritas sipil dan militer yang telah diperjuangkan melalui reformasi pasca-Orde Baru. Padahal, salah satu prinsip demokrasi yang sehat adalah subordinasi militer di bawah kendali sipil, serta pembatasan peran militer agar tidak mencampuri urusan yang berada di luar domain pertahanan dan keamanan eksternal negara. Ketika militer diberikan mandat untuk berperan aktif dalam urusan sipil, maka risiko dominasi kekuasaan koersif negara atas kehidupan warga sipil menjadi semakin besar.

Di atas kertas, argumen pemerintah menyebut bahwa perluasan peran ini bertujuan untuk merespons tantangan keamanan non-tradisional yang semakin kompleks, seperti radikalisme, terorisme, dan ketahanan pangan. Namun, persoalan muncul ketika payung hukum yang mengatur keterlibatan militer dalam urusan sipil tidak disertai dengan mekanisme akuntabilitas, pengawasan publik, serta pembatasan yang tegas. Akibatnya, fungsi OMSP yang seharusnya bersifat darurat dan terbatas, berpotensi berubah menjadi instrumen normalisasi kehadiran militer dalam ruang-ruang sipil.

Risiko ini menjadi sangat konkret dan nyata di wilayah seperti Papua, yang secara historis telah lama menjadi laboratorium pendekatan militeristik negara dalam menangani ketidakpuasan politik dan ekspresi identitas. Sejak masa Orde Baru hingga era Reformasi, Papua tak lepas dari pengiriman pasukan non-organik, pembangunan pos militer, operasi intelijen, hingga penggunaan kekuatan senjata dalam menyikapi aksi demonstrasi damai. Dalam kondisi semacam ini, perluasan peran militer justru berpotensi memperparah ketegangan, memperluas ruang represi, dan mempersempit jalur sipil dalam penyelesaian konflik.

Pengamanan proyek strategis nasional (PSN) sebagai salah satu bentuk tugas OMSP juga menjadi celah serius bagi pelanggaran hak masyarakat adat Papua. Banyak proyek infrastruktur dan eksploitasi sumber daya, seperti tambang, sawit, dan food estate menjadi pemicu konflik agraria, perampasan tanah ulayat, serta kerusakan lingkungan. Keterlibatan militer dalam proyek-proyek ini sering berujung pada kriminalisasi masyarakat lokal yang menolak proyek tersebut, dan memberikan impunitas bagi aparat yang melakukan intimidasi atau kekerasan. Dalam konteks ini, revisi UU TNI berpotensi menjadi legitimasi formal terhadap praktik-praktik pelanggaran HAM yang telah berlangsung secara sistemik.

Dengan tidak adanya penguatan pengawasan sipil dan reformasi peradilan militer dalam revisi UU ini, maka semakin besar kemungkinan militer akan bertindak tanpa kontrol hukum yang efektif. Hal ini bertentangan langsung dengan prinsip-prinsip negara hukum (rechtstaat) dan demokrasi yang menjunjung keterbukaan, keadilan, dan akuntabilitas.

Papua: Ruang Demokrasi yang Tertutup

Papua merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang paling kompleks secara politik, sosial, dan historis. Sejak integrasi Papua ke dalam wilayah Republik Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang menuai banyak kritik, Papua senantiasa menjadi wilayah yang "dipertanyakan", baik oleh masyarakatnya sendiri maupun oleh dunia internasional. Aspirasi politik rakyat Papua, mulai dari tuntutan pemekaran wilayah, otonomi khusus, hingga suara-suara pro-kemerdekaan, terus mengemuka dalam berbagai bentuk ekspresi sosial. Namun sering tindakan ini kali dibalas dengan pendekatan keamanan yang represif dan dominasi aparat bersenjata. Dalam konteks inilah, demokrasi di Papua bukan hanya terbatas, tetapi juga tertutup oleh tembok militerisme dan ketakutan.

Berbagai studi dan laporan organisasi HAM, baik nasional seperti KontraS dan Amnesty International Indonesia, maupun internasional seperti Human Rights Watch, secara konsisten menunjukkan bahwa Papua merupakan salah satu wilayah dengan tingkat pelanggaran HAM tertinggi di Indonesia. Kebebasan berkumpul, menyatakan pendapat, dan berekspresi kerap kali dibatasi secara sistematis, terutama ketika menyangkut isu-isu politik seperti referendum, bendera Bintang Kejora, atau kritik terhadap kebijakan pemerintah pusat.

Salah satu contohnya adalah insiden demonstrasi besar-besaran di berbagai kota pada tahun 2019, yang dipicu oleh tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Aksi solidaritas di Jayapura, Wamena, Sorong, dan Manokwari justru ditanggapi dengan pengerahan pasukan dalam jumlah besar dan pemadaman akses internet oleh pemerintah pusat. Dalam peristiwa tersebut, puluhan warga sipil tewas, ratusan lainnya ditangkap, dan ribuan orang mengungsi karena trauma kekerasan. Pemutusan internet, yang dilakukan tanpa keputusan pengadilan, merupakan bentuk pembungkaman ruang demokrasi digital dan pelanggaran terhadap hak atas informasi.

Tak hanya itu, penggunaan pasal makar terhadap aktivis Papua semakin menunjukkan betapa negara memperlakukan ekspresi politik sebagai ancaman kriminal. Tokoh-tokoh seperti Filep Karma, Victor Yeimo, dan para anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sering kali dijerat dengan pasal-pasal karet yang semestinya digunakan dalam situasi ekstrem. Demokrasi semestinya memberi ruang bagi warga negara untuk menyuarakan pendapat, termasuk pendapat yang menantang narasi resmi negara. Akan tetapi, di Papua, suara berbeda justru dijawab dengan penjara dan senapan.

Masalah semakin rumit dengan kehadiran proyek-proyek pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat adat. Proyek strategis nasional, seperti tambang Freeport, kawasan food estate di Merauke, dan infrastruktur Trans Papua, acapkali dijalankan tanpa mekanisme free, prior and informed consent (FPIC). Ketika masyarakat adat menolak atau memprotes, aparat keamanan hadir bukan sebagai penjaga ketertiban, melainkan sebagai pelindung investasi. Dalam konteks ini, demokrasi di Papua tidak hanya tertutup, tetapi juga secara aktif ditindas demi kepentingan politik dan ekonomi yang berada jauh dari kendali masyarakat setempat.

Penutupan ruang demokrasi ini diperparah oleh minimnya liputan media nasional dan pembatasan akses jurnalis asing ke Papua. Sering kali, pelanggaran HAM di Papua tidak memperoleh perhatian yang layak di tingkat nasional, menciptakan “isolasi informasi” yang membungkam simpati publik. Di sisi lain, narasi negara tentang Papua sebagai wilayah “rawan separatisme” terus direproduksi tanpa kritik, memperkuat pembenaran terhadap kehadiran militer yang masif.

Dalam kerangka ini, revisi UU TNI yang memperluas kewenangan militer justru semakin memperkokoh struktur kekuasaan yang menutup ruang demokrasi di Papua. Alih-alih membangun kepercayaan warga terhadap negara melalui pendekatan dialog dan kesejahteraan, negara justru memperdalam jurang alienasi dan ketidakadilan. Demokrasi yang tertutup seperti ini bukan hanya gagal menjamin hak-hak warga Papua, tetapi juga bertentangan secara fundamental dengan prinsip-prinsip keadilan sosial dan hak asasi manusia.

Ancaman bagi Demokrasi dan HAM

Rencana revisi UU TNI yang memberikan perluasan mandat kepada militer untuk terlibat dalam urusan sipil bukan hanya berbahaya secara teoritis, tetapi juga membawa ancaman nyata bagi masa depan demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia. Jika dilihat secara historis, pengalaman Indonesia di bawah Orde Baru menunjukkan bagaimana kekuasaan militer yang tidak dibatasi dapat melumpuhkan kehidupan sipil, menindas kebebasan berekspresi, dan membungkam oposisi politik. Kini, ketika Indonesia telah lebih dari dua dekade memasuki era Reformasi, kembalinya narasi militerisme dalam bentuk legal-formal merupakan kemunduran yang tidak bisa diabaikan.

Dalam tataran demokrasi, perluasan peran militer dalam ruang sipil merupakan bentuk penyimpangan dari prinsip dasar civil supremacy, yakni prinsip yang menjamin bahwa otoritas tertinggi dalam pemerintahan berada di tangan sipil yang dipilih secara demokratis, bukan di tangan aparat bersenjata. Ketika militer dilibatkan secara langsung dalam pelaksanaan pembangunan, pengamanan proyek, hingga penanganan konflik sosial, maka yang terjadi bukan hanya pelanggaran batas-batas institusional, tetapi juga dominasi logika keamanan atas pendekatan sosial dan politik. Dengan kata lain, negara lebih memilih “mengamankan” masalah daripada menyelesaikannya secara demokratis.

Di Papua, ancaman terhadap demokrasi dan HAM terasa lebih konkret. Pendekatan keamanan yang dominan telah menciptakan siklus kekerasan yang merugikan warga sipil. Menurut laporan dari Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) dan Lembaga Bantuan Hukum Papua (LBH Papua), terdapat peningkatan signifikan jumlah pengungsi internal yang mengungsi akibat operasi militer, khususnya di wilayah Nduga, Intan Jaya, dan Pegunungan Bintang. Banyak dari mereka hidup tanpa akses memadai terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan makanan, yang merupakan hak dasar setiap warga negara. Dalam situasi seperti ini, revisi UU TNI akan semakin mempersulit penyelesaian konflik secara damai karena militer diberi justifikasi hukum untuk memperkuat posisinya sebagai aktor utama di lapangan.

Dari sisi HAM, revisi ini juga memperbesar kemungkinan impunitas. Selama ini, pelanggaran HAM berat yang diduga dilakukan oleh aparat TNI, baik di Papua maupun di wilayah lain, cenderung tidak ditangani secara transparan. Proses peradilan militer bersifat tertutup dan tidak memungkinkan partisipasi publik maupun pemantauan independen. Jika peran TNI diperluas tanpa reformasi mendasar dalam sistem peradilannya, maka ruang bagi keadilan bagi korban pelanggaran HAM akan semakin mengecil. Ini bertolak belakang dengan prinsip rule of law yang seharusnya menjadi pilar demokrasi.

Selain itu, revisi UU TNI berpotensi mengikis peran aktor-aktor sipil, seperti pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, dan media, dalam proses pembangunan dan pengawasan kekuasaan. Ketika militer berperan dalam pengelolaan konflik sosial atau dalam pelaksanaan proyek-proyek strategis nasional, maka suara-suara alternatif atau kritik terhadap kebijakan pembangunan dapat dengan mudah dicap sebagai gangguan keamanan. Hal ini akan melahirkan ketakutan di masyarakat dan mendorong praktik otosensor, yang pada akhirnya mematikan dinamika demokrasi di tingkat akar rumput.

Ancaman terhadap demokrasi dan HAM bukanlah isu Papua semata. Papua hanyalah refleksi paling ekstrem dari tren nasional yang sedang berkembang, yaitu menguatnya otoritarianisme dalam kemasan stabilitas dan pembangunan. Jika tren ini dibiarkan, maka seluruh warga negara Indonesia, bukan hanya Papua akan berpotensi menjadi korban dari negara yang makin represif dan antikritik.

Oleh karena itu, penting untuk melihat revisi UU TNI bukan sekadar sebagai kebijakan pertahanan, melainkan sebagai instrumen politik yang dapat membentuk ulang relasi antara negara dan warga negara. Dalam demokrasi yang sehat, kekuasaan harus dibatasi, diawasi, dan dipertanggungjawabkan. Militer bukan alat untuk menaklukkan rakyat, tetapi institusi pertahanan yang tunduk pada hukum, nilai-nilai hak asasi manusia, dan kontrol sipil yang demokratis.

Simpulan

Rencana revisi UU TNI harus dikaji ulang dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap ruang demokrasi, khususnya di daerah konflik seperti Papua. Alih-alih memperluas peran militer, negara semestinya memperkuat pendekatan sipil dan dialog damai dalam menyelesaikan masalah Papua. Penguatan demokrasi dan HAM tidak akan tercapai selama kebijakan keamanan masih didominasi pendekatan koersif. Demokrasi yang sejati hanya bisa hidup jika warga Papua merasa aman untuk bersuara dan turut serta dalam menentukan masa depan mereka sendiri, tanpa dibayang-bayangi oleh kokangan senjata.

Daftar Pustaka

Amnesty International. (2022). Indonesia: Membungkam suara, menekan kritik – Penurunan kebebasan sipil di Indonesia (Laporan No. ASA 21/6013/2022). Diakses 9 Juli 2025, dari https://www.amnesty.org/en/documents/asa21/6013/2022/en/

DetikNews. (2025, 18 April). Koalisi sipil tolak revisi UU TNI di DPR: Potensi kembalinya Dwifungsi ABRI. Detik.com. Diakses 9 Juli 2025, dari https://news.detik.com/berita/d-7788832/koalisi-sipil-tolak-revisi-uu-tni-di-dpr-potensi-kembalikan-dwifungsi-abri

Human Rights Watch. (2023). World Report 2023: Indonesia. Diakses 9 Juli 2025, dari https://www.hrw.org/world-report/2023/country-chapters/indonesia

KontraS. (2025a, 18 April). Petisi tokoh dan masyarakat sipil tolak kembalinya dwifungsi melalui revisi UU TNI. Diakses 9 Juli 2025, dari https://kontras.org/artikel/petisi-tokoh-dan-masyarakat-sipil-tolak-kembalinya-dwifungsi-melalui-revisi-uu-tni

KontraS. (2025b, 18 April). Koalisi masyarakat sipil: Revisi dan judicial review UU TNI oleh perwira aktif adalah upaya sistematis menguatkan kembali dwifungsi. Diakses 9 Juli 2025, dari https://kontras.org/artikel/koalisi-masyarakat-sipil-reformasi-sektor-keamanan-revisi-dan-judicial-review-uu-tni-oleh-perwira-tni-aktif-upaya-sistematis-menguatkan-kembali-dwi-fungsi

MetroTVNews. (2025, 19 Maret). Revisi UU TNI dinilai upaya sistematis menormalisasi keterlibatan militer. MetroTVNews.com. Diakses 9 Juli 2025, dari https://www.metrotvnews.com/read/NnjCeZzr-revisi-uu-tni-dinilai-upaya-sistematis-menormalisasi-keterlibatan-militer

Republik Indonesia. (2004). Undang‑Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127.