Pembangunan Di Semarang dan Segala Permasalahannya

Opini ini akan mengungkapkan realitas yang terjadi di Semarang, mencakup berbagai isu seperti pertumbuhan kota, ketimpangan ruang, banjir rob, transportasi, lingkungan, dan ketimpangan sosial.

Mohammad Nayaka Rama Yoga

8/24/202511 min read

Kota Semarang kini menjelma menjadi metropolis dengan laju pembangunan yang kian pesat. Pusat kota dipenuhi gedung pencakar langit baru, pusat perbelanjaan modern, dan proyek infrastruktur megah. Pertumbuhan ekonomi lokal terlihat dari maraknya investasi di kawasan pusat kota. Hal ini merepresentasikan wajah Semarang yang tampak semakin metropolis dan “mendunia”. Ironisnya, di balik gemerlap pembangunan itu, berbagai permasalahan mendasar justru semakin nyata. Pertumbuhan tersebut tidak merata, menciptakan ketimpangan tata ruang antara pusat kota dan kawasan pesisir utara. Sementara pusat kota menikmati modernisasi, masyarakat di pinggiran utara Semarang bergulat dengan banjir rob yang kian parah, penggusuran permukiman, minimnya ruang hijau, kemacetan, hingga keterbatasan ruang ekspresi bagi generasi muda. Realitas ini menimbulkan sebuah pertanyaan: pembangunan ini untuk siapa?

Ketimpangan antara Pusat Kota dan Pesisir. 

Kesenjangan tata ruang Semarang terlihat jelas antara kawasan pusat yang mapan dan pesisir utara yang terpinggirkan. Di pusat kota – sekitar Simpang Lima hingga Tugu Muda – pembangunan infrastruktur begitu masif dan tertata. Jalan-jalan protokol mulus dengan penerangan lengkap, gedung perkantoran dan apartemen mewah menjulang, serta taman kota seperti Taman Indonesia Kaya menjadi ikon baru. Namun, cukup berjalan beberapa kilometer ke arah utara, pemandangan kontras langsung terasa. Kawasan pesisir Semarang Utara dan sekitarnya masih berkutat dengan permasalahan infrastruktur yang masih minim. Permukiman nelayan seperti Tambak Lorok atau Bandarharjo berdiri berhimpitan di bantaran sungai, terancam rob dan banjir setiap musim hujan. Kawasan industri di pesisir memang tumbuh, tetapi manfaatnya tak langsung dirasakan warga setempat. Mereka justru menanggung dampak lingkungan: pencemaran air, abrasi pantai, dan semakin seringnya banjir rob.

Para ahli mencatat bahwa banjir rob di Semarang kian parah seiring alih fungsi lahan pantai dan fenomena amblesan tanah (land subsidence)ugm.ac.idugm.ac.id. Wilayah pesisir yang dulunya berupa tambak dan rawa penyangga air laut telah banyak ditimbun menjadi kawasan industri dan permukiman, sehingga kehilangan daya tampung pasang lautugm.ac.idugm.ac.id. Akibatnya, air pasang tak terbendung lagi dan menggenangi pemukiman yang lebih rendah. Sementara itu, pusat kota yang lebih tinggi relatif aman dari rob dan terus menikmati hasil pembangunan. Ketimpangan ini menciptakan “dua wajah” Semarang: satu modern dan nyaman, satu lagi rentan dan termarjinalkan.

Banjir rob rutin merendam kawasan permukiman di Semarang utara. Dalam kondisi pasang tinggi, air laut meluap ke jalan hingga setinggi lutut orang dewasa, memaksa warga beraktivitas dengan perahu sederhana. Situasi ini mencerminkan krisis lingkungan yang dihadapi warga pesisir.

Krisis Banjir Rob dan Lingkungan.

Bagi warga Semarang Utara, banjir rob sudah menjadi “tamu” bulanan yang tak diundang. Tiap air laut pasang purnama, permukiman di pesisir terendam air asin setinggi puluhan sentimeter hingga lebih dari satu meterpulitzercenter.org. Pada puncaknya Mei 2022 lalu, rob dahsyat bahkan menjebol tanggul Pelabuhan Tanjung Emas; air laut meluber hingga setinggi 1,5 meter di area industri Lamacitra dan memaksa ribuan orang mengungsiforestdigest.com. Meski fenomena astronomi seperti perigee (jarak terdekat bulan) turut memicu rob ekstrem tersebut, para ahli sepakat penyebab utamanya adalah ulah manusiaforestdigest.comforestdigest.com. Kota Semarang mengalami penurunan permukaan tanah akut akibat eksploitasi air tanah dan beban konstruksi di tanah aluvial pesisir. Penelitian terbaru menunjukkan laju amblesan tanah di Semarang mencapai rata-rata 3,96 cm per tahun – tertinggi kedua di dunia setelah Tianjin, Tiongkokforestdigest.comforestdigest.com. Di kelurahan tertentu, penurunannya bahkan bisa 20–25 cm per tahunugm.ac.id. Dampaknya jelas: kawasan pesisir kian rentan terendam rob, karena daratan “tenggelam” lebih cepat daripada kenaikan muka air laut. Contoh nyata bisa dilihat di Kampung Layur: Masjid Layur yang bersejarah (dibangun abad 18) kini nyaris setingkat dengan permukaan air, padahal awal 1900-an masjid ini tegak bertingkat duaforestdigest.com. Begitu pula mercusuar tua di Pelabuhan Semarang yang dahulu menjulang, kini “tenggelam” sebagian akibat tanah di sekitarnya amblesforestdigest.com. Warga pesisir tak punya banyak pilihan selain beradaptasi: meninggikan rumah dan jalan setempat, membuat tanggul darurat di depan rumah, bahkan membangun rumah panggungugm.ac.idugm.ac.id. Mereka enggan pindah karena sebagian besar bekerja sebagai nelayan atau buruh di sekitar pelabuhan, sehingga perlu tinggal dekat sumber nafkahugm.ac.id. Namun adaptasi swadaya ini ada batasnya. Daya dukung lingkungan pesisir sudah merosot tajam: hutan mangrove yang dulu melimpah telah habis dikonversi jadi tambak dan lahan industrieprints.ums.ac.id, garis pantai terus maju ke daratan, tambak rakyat berubah menjadi lauteprints.ums.ac.id. Tak heran tiap tahun puluhan rumah harus ditinggikan lagi, jalan kampung diuruk lagi. Sebuah laporan menyebut sekitar 900 keluarga di Tambak Lorok mesti menyisihkan puluhan juta rupiah setiap lima tahun hanya untuk memperbaiki dinding rumah yang rapuh terendam banjir dan menguruk lantai agar tidak tenggelampulitzercenter.orgpulitzercenter.org. Bagi warga yang tak mampu, rumahnya dibiarkan rusak atau ditinggalkan sama sekalipulitzercenter.org. Pemerintah bukannya diam saja – proyek tanggul laut raksasa sepanjang 3,6 km sedang dibangun di Semarang Utara untuk menahan robpulitzercenter.org. Sejak tanggul tahap pertama berdiri, genangan rob di Tambak Lorok memang berkurang signifikan hingga hanya setinggi 15–20 cm di jalanpulitzercenter.org. Namun, upaya teknis ini memunculkan persoalan baru: tanggul tersebut menyempitkan muara Sungai Banger dari lebar ~20 meter menjadi hanya 3 meter, sehingga ratusan perahu nelayan kesulitan keluar-masuk dan terpaksa antre di kanal sempitpulitzercenter.org. Inilah dilema pembangunan di Semarang – solusi satu masalah kerap menciptakan masalah lain jika suara masyarakat akar rumput tidak diakomodasi sejak awal. Krisis lingkungan pesisir ini nyata adanya, dan jika penanganannya setengah hati, bukan mustahil sebagian wilayah Semarang Utara bisa terendam permanen di masa depan.

Penggusuran Kampung Kota.

Kemajuan kota juga menyimpan cerita pilu: berkali-kali warga kampung kota tergusur atas nama pembangunan. Di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur, komunitas warga berpenghasilan rendah acap menjadi korban yang dikorbankan. Kasus Kampung Kebonharjo pada 2016 mencuat sebagai salah satu penggusuran terbesar di Semarang. Sekitar 3.500 rumah di kelurahan Tanjungmas, Semarang Utara, digusur paksa untuk proyek rel ganda dari Stasiun Tawang ke Pelabuhantanahkita.id. Padahal warga Kebonharjo telah bermukim di sana sejak 1970-an, membangun permukiman di lahan negara yang ditinggalkan PT KAI, bahkan sempat mengantongi sertifikat hak milik pada 2001. Namun sengketa agraria berakhir pahit: Mahkamah Agung menyatakan sertifikat itu tidak sah dan memerintahkan pengosongan lahantanahkita.id. Alat berat meratakan rumah-rumah, ribuan jiwa kehilangan tempat tinggal sekejap mata. Janji relokasi tak sebanding dengan kerugian sosial yang dialami warga. Contoh lain, Kampung Tambakrejo di bantaran Banjir Kanal Timur digusur pada 2019 dengan dalih normalisasi sungai. Ratusan keluarga terpaksa pindah; sebagian direlokasi ke rumah susun, lainnya terombang-ambing nasibnya. Belum lama berselang, Kampung Cebolok di Sambirejo digusur Satpol PP pada Februari 2021 – sebanyak 134 rumah dihancurkan dalam seharijatengtoday.com. Penggusuran Cebolok bahkan diwarnai bentrokan fisik antara warga dan petugasjatengtoday.com. Mirisnya, setelah digusur, puluhan warga Cebolok tak punya tempat tujuan dan terpaksa mengungsi di area pemakaman umum karena tak mampu menyewa kontrakanjatengtoday.comjatengtoday.com. Selama berminggu-minggu, sekitar 25 keluarga termasuk anak-anak dan lansia tidur di bawah gazebo makam, berdampingan dengan nisan, hidup dari bantuan dermawanjatengtoday.comjatengtoday.com. Gambaran tragis ini menunjukan betapa rentannya posisi warga miskin kota dalam arus modernisasi; ketika ruang hidup mereka dianggap menghambat “pembangunan”, penggusuran sering jadi jalan pintas tanpa solusi tuntas. Bahkan jauh sebelumnya, Kampung Cakrawala di sekitar Jalan Yos Sudarso sudah merasakan getirnya pengusiran. Permukiman kumuh di kolong jembatan layang ini dihuni 39 keluarga korban gusuran tahun 2006 yang tak jelas penanganannyainibaru.idinibaru.id. Hampir dua dekade berlalu, mereka masih bertahan di kolong viaduk, mendirikan bilik-bilik semipermanen di antara tiang beton jembatan. Hidup dengan bising dan debu jalan raya di atas kepala tiap hari, warga Cakrawala bagai “tak terlihat” dalam lanskap kota moderninibaru.id. Kasus-kasus tersebut hanya beberapa contoh – masih banyak kampung kota lain yang rawan tergusur oleh proyek jalan tol, mall, bandara, atau normalisasi sungai. Minimnya dialog dan solusi setelah penggusuran memperparah luka sosial. Warga sering tidak dilibatkan secara berarti dalam perencanaan, dan saat penggusuran terjadi, bantuan relokasi atau kompensasi kerap tidak memadai. Alhasil, lahir kantong-kantong kemiskinan baru: warga tercerabut dari komunitas dan mata pencaharian lamanya, terpaksa mencari peruntungan di tempat lain tanpa jaminan kehidupan lebih baik. Pembangunan yang seharusnya untuk kesejahteraan bersama justru meninggalkan sebagian warganya sendiri.

Minim Ruang Terbuka Hijau.

Di tengah padatnya kota, Semarang juga menghadapi krisis ruang terbuka hijau (RTH). Alih fungsi lahan secara masif menggerus area hijau kota dari tahun ke tahun. Lahan pertanian dan kebun di pinggiran bertransformasi menjadi perumahan dan kawasan komersial. Berdasarkan data Dinas Perumahan dan Permukiman, RTH di Kota Semarang saat ini baru sekitar 15% dari luas wilayah, jauh di bawah amanat Undang-Undang yang mensyaratkan 30%suaramerdeka.com. Artinya, vegetasi kota yang berfungsi sebagai paru-paru dan ruang interaksi warganya hanya terpenuhi separuh dari kebutuhan ideal. Situasi ini sempat “tersamarkan” karena definisi RTH pernah memasukkan lahan pertanian dan hutan. Namun regulasi terbaru mengeluarkan lahan pertanian dari kategori RTH, sehingga luas RTH resmi Semarang langsung anjloksuaramerdeka.com. Dengan standar baru yang lebih ketat, tampak jelas betapa terbatasnya taman, hutan kota, dan ruang hijau publik di sini. Akibat minimnya RTH, warga semakin rentan terhadap efek pemanasan kota (urban heat island). Suhu rata-rata Semarang dikabarkan terus naik beberapa derajat dalam dekade terakhir seiring penyusutan ruang hijau dan ekspansi beton/aspal kotakompasiana.com. Warga pun merasakan “Kota ATLAS” makin terik dan gerah. Selain itu, kekurangan RTH berdampak pada daya serap air hujan yang rendah. Ketika hujan lebat, air cepat mengalir di permukaan karena kurangnya area resapan, memperburuk genangan dan banjir di kawasan rendah. Pembangunan kota yang bias beton – lebih banyak mal daripada taman – turut mengikis kualitas hidup. Ruang publik untuk rekreasi gratis dan interaksi sosial menjadi langka. Padahal, kota ideal memerlukan taman kota, hutan kota, lapangan terbuka di tiap kecamatan sebagai ruang napas bagi warganya. Semarang sebenarnya punya beberapa alun-alun dan taman, tetapi belum tersebar merata. Ruang hijau banyak terkonsentrasi di Semarang atas (daerah perbukitan seperti Tinjomoyo atau Mijen masih relatif hijau), sedangkan di Semarang bawah yang padat penduduk, ruang terbuka sangat minim. Pemerintah kota telah berupaya menambah taman di lahan-lahan sisa – misalnya Taman Kasmaran di bantaran Banjir Kanal Barat dan revitalisasi Taman Srigunting di Kota Lama. Namun totalnya belum mendekati kebutuhan. DPRD Kota Semarang pun mendorong agar pemkot lebih agresif menyediakan RTH barurri.co.idrri.co.id, entah melalui pengadaan lahan atau mewajibkan setiap proyek properti menyertakan ruang hijau publik. Tanpa gebrakan berarti, Semarang terancam “tenggelam” dalam hutan beton. Kota ini membutuhkan visi pembangunan yang lebih berkelanjutan – di mana ruang hijau mendapat porsi setara dengan pembangunan fisik – agar lingkungan hidup dan kesehatan warga terjaga.

Transportasi Publik dan Kemacetan.

Permasalahan klasik kota besar juga menghampiri Semarang: kemacetan lalu lintas. Dalam beberapa tahun terakhir, kondisi lalu lintas Semarang kian padat di berbagai titik. Data Dinas Perhubungan mencatat jumlah kendaraan bermotor di kota ini tumbuh 6–10% per tahundetik.comdetik.com. Laju pertumbuhan ini tergolong tinggi, terutama di pusat kota yang bisa naik 10% per tahundetik.com. Tak heran, jalan protokol seperti Jalan Pandanaran yang lima tahun lalu dilalui ~2.000 kendaraan per jam, kini harus menampung hingga 3.000 kendaraan per jam saat jam sibukdetik.com. Pemandangan lampu merah dengan antrean kendaraan mengular sudah menjadi keseharian, khususnya di pusat oleh-oleh Pandanaran, Simpang Lima, kawasan Johar, hingga persimpangan Kalibanteng. Volume kendaraan pribadi – mobil dan sepeda motor – mendominasi jalan raya karena angkutan umum belum mampu menjadi pilihan utama warga. Semarang sebenarnya memiliki sistem BRT Trans Semarang yang diluncurkan sejak 2009. Layanannya berkembang dari 1 koridor menjadi kini 8 koridor utama plus 4 rute feederitdp-indonesia.org. Jumlah penumpangnya pun meningkat; tahun 2022 tercatat 15,43 juta perjalanan atau sekitar 40 ribu penumpang per hariitdp-indonesia.org. Meski demikian, mode share transportasi publik di Semarang masih rendah – baru sekitar 7% dari total perjalanan harian (data 2020)itdp-indonesia.org. Artinya 93% perjalanan warga masih mengandalkan kendaraan pribadi. Pemerintah menargetkan penggunaan angkutan umum bisa naik menjadi 20% pada 2030itdp-indonesia.org, tetapi upaya ke arah itu perlu percepatan luar biasa. Tantangannya banyak: keterbatasan trayek dan jadwal Trans Semarang, belum terintegrasinya moda (bus kota, angkot, ojek), hingga preferensi masyarakat yang terlanjur nyaman bermobil/motor. Selain itu, kota ini belum menerapkan langkah disincentive serius untuk membatasi kendaraan pribadiitdp-indonesia.org. Parkir di tepi jalan masih marak dan murah, membuat orang enggan naik busitdp-indonesia.org. Upaya semacam car free day di Simpang Lima dan larangan truk jam tertentu hanyalah solusi parsialitdp-indonesia.org. Akibatnya, kemacetan makin menjadi. Di jam berangkat dan pulang kerja, ruas-ruas utama macet sana-sini: mulai dari Jatingaleh, Dr. Cipto, hingga jalur keluar tol Krapyak. Bahkan beberapa tahun belakangan, Semarang tak luput dari problem ibu kota – banjir membuat macet kian parah. Ketika hujan lebat kerap ada genangan di Mangkang, Kaligawe, atau Genuk, kendaraan tersendat berjam-jam. Selain membuang waktu dan BBM, kemacetan ini menyumbang polusi udara signifikan. Emisi karbon sektor transportasi Semarang pada 2017 tercatat 823 ribu ton CO₂eitdp-indonesia.org, berkontribusi pada kualitas udara yang menurun. Kondisi ini alarm bagi kota yang ingin berpredikat kota layak huni. Ke depan, Semarang perlu langkah terobosan: mempercepat pembangunan angkutan massal yang andal (misal jalur BRT khususitdp-indonesia.org, bahkan opsi trem/LRT di koridor padat), sekaligus pembatasan kendaraan pribadi (ERP atau pembatasan plat nomor). Tanpa itu, “budaya macet” akan mengakar dan menggerus produktivitas kota.

Tantangan Anak Muda dan Ruang Publik.

Di tengah kompleksnya masalah kota, generasi muda Semarang menghadapi tantangan tersendiri untuk mendapatkan ruang berekspresi dan berpartisipasi. Kota yang idealnya menjadi panggung kreasi, sering kali terasa sempit bagi aspirasi anak mudanya. Minimnya ruang terbuka publik berarti sedikit pula tempat bagi remaja dan pemuda untuk berkumpul, berkegiatan positif, atau sekadar mengekspresikan diri. Alun-alun Simpang Lima memang menjadi magnet anak muda di akhir pekan, namun di luar itu pilihan ruang gratis hampir tak ada. Banyak yang akhirnya menjadikan mal dan kafe sebagai ruang nongkrong default – sebuah solusi pragmatis namun kurang inklusif, karena tidak semua kalangan mampu berbelanja demi bisa duduk berlama-lama. Ruang kreatif seperti gedung kesenian, gelanggang remaja, atau taman budaya masih minim fasilitas dan jarang diberdayakan. Padahal Semarang menyimpan banyak komunitas muda berbakat: komunitas musik indie, seniman mural, skateboarders, pegiat fotografi, hingga komunitas sosial. Mereka membutuhkan wadah dan dukungan agar bisa tumbuh. Selama ini, acara-acara kreatif anak muda lebih sering muncul berkat inisiatif komunitas sendiri dengan dukungan swasta sporadis. Keterlibatan pemerintah kota mulai ada, tapi perlu ditingkatkan. Apresiasi patut diberikan ketika Wali Kota Semarang (Hevearita G. Rahayu) hadir dan memberi dukungan pada event komunitas fixed gear “Semarang Dark Race 2024” di halaman Balai Kotarealtimes.id. Dalam kesempatan itu, beliau menekankan pentingnya pemerintah menyediakan ruang kreatif bagi hobi dan kreativitas anak mudarealtimes.id. Dukungan seperti ini menjadi sinyal positif, namun belum cukup sistemik. Anak muda Semarang juga mendambakan ruang partisipasi dalam arti luas: dilibatkan dalam dialog publik, didengar suaranya dalam perumusan kebijakan kota, serta diberi ruang untuk berperan dalam komunitas. Selama ini, partisipasi publik cenderung formalitas – musrenbang misalnya, jarang dihadiri perwakilan pemuda. Aspirasi generasi milenial dan Gen-Z soal isu kota (dari transportasi, lingkungan, hingga budaya) masih sering terpinggirkan. Beberapa gerakan anak muda sempat muncul, contohnya kampanye penanganan sampah plastik di komunitas sungai, atau gerakan street art menghias kolong jembatan. Namun tanpa sokongan kebijakan yang ramah, inisiatif ini sulit berkelanjutan. Ruang ekspresi anak muda juga kadang terbentur pendekatan keamanan yang kaku. Misalnya, sekumpulan remaja nongkrong di taman malam hari kerap dicurigai dan dibubarkan alih-alih diberdayakan. Kota Semarang perlu menyadari bahwa energi kreatif pemudanya adalah aset. Jika dibiarkan tersisih tanpa ruang, bukan tak mungkin mereka akan “kabur” mengekspresikan diri di tempat lain, atau lebih buruk, terjerumus ke hal negatif. Maka, tantangan bagi pemerintah dan masyarakat adalah membuka ruang-ruang baru: dari co-working space murah, taman skateboard, pusat kegiatan pemuda, hingga forum-forum dialog pemuda dengan pemerintah. Sudah saatnya anak muda dilibatkan sebagai subjek pembangunan, bukan objek yang hanya menerima jadi. Beberapa waktu lalu tersiar kabar tentang rencana “Konferensi Anak Kota Semarang 2025” dimana anak-anak dan remaja diajak bicara tentang kota merekainstagram.com. Inisiatif semacam ini patut diapresiasi dan harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata pasca forum. Kota akan maju jika generasi mudanya diberdayakan – diberi ruang untuk berkreasi, ruang untuk bersuara, dan ruang untuk berkontribusi.

Mewujudkan Pembangunan Inklusif dan Berkelanjutan.

Uraian di atas menggambarkan Semarang sebagai kota yang sedang tumbuh cepat namun menyisakan banyak pekerjaan rumah. Dari ketimpangan wilayah, krisis banjir rob, penggusuran kampung, minimnya ruang hijau, kemacetan, hingga keterbatasan ruang bagi pemuda – semuanya saling terkait membentuk tantangan perkotaan yang kompleks. Yang diperlukan adalah visi pembangunan kota yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Pembangunan fisik mesti diimbangi dengan kepekaan sosial dan lingkungan. Pemerataan infrastruktur ke kawasan pinggiran dan pesisir harus diprioritaskan, agar tak ada lagi warga merasa “tertinggal” di kotanya sendiri. Proyek pengendalian banjir harus disertai pendekatan lingkungan menyeluruh: hentikan ekstraksi air tanah berlebihan, pulihkan ekosistem mangrove, dan libatkan warga lokal dalam solusi agar tepat sasaran. Dalam perencanaan kota, hentikan paradigma gusur-atau-pindah; gantikan dengan program penataan permukiman in-situ sebisa mungkin, lengkap dengan dialog intensif bersama warga terdampak. Ruang terbuka hijau bukan sekadar estetika kota, melainkan hak warga atas lingkungan sehat – maka alokasikan anggaran dan lahan memadai untuk mengejar target 30% RTH publik. Begitu pula, reformasi transportasi perlu dipercepat: sediakan transportasi publik nyaman dan terjangkau hingga ke pelosok, barengi kebijakan pembatasan kendaraan pribadi. Dan jangan lupa, rangkul generasi muda dalam proses ini. Libatkan mereka dalam pembuatan keputusan – misal lewat forum konsultasi pemuda atau program urban innovation lab bagi kaum muda. Beri dukungan terhadap komunitas kreatif lokal, karena mereka dapat menjadi agen perubahan sosial yang membantu pemerintah. Kota Semarang memiliki potensi besar dengan segala sumber daya dan keunggulannya sebagai ibukota Jawa Tengah. Namun potensi itu hanya akan terwujud penuh jika tantangan-tantangan di atas ditangani dengan serius. Pembangunan yang sukses tidak diukur dari jumlah gedung tinggi atau jalan layang baru semata, tapi dari seberapa banyak kehidupan warga yang membaik karenanya. Sudah waktunya Semarang menyeimbangkan pertumbuhan dan pemerataan, modernisasi dan pelestarian, serta pembangunan fisik dan pembangunan manusia. Dengan demikian, Semarang dapat menjadi kota yang benar-benar hebat: maju ekonominya, tertata lingkungannya, dan bahagia seluruh warganya – dari pusat kota hingga pesisir utara, tua maupun muda, tanpa ada yang tertinggal di belakang.